ABSTRAK
KERAGAMAN NEMATODA PADA
PERTANAMAN JAHE (Zingiber officinale Rosc.)
DI
LAMPUNG
Oleh
Jahe (Zingiber
officinale Rosc.) merupakan salah satu komoditi ekspor yang
penting bagi Indonesia. Namun, sampai saat ini produksinya masih
tergolong rendah. Salah satu kendala yang dihadapi dalam budidaya
tanaman ini adalah serangan nematoda parasitik tumbuhan.
Penelitian yang
bertujuan untuk mempelajari keragaman dan menginventarisasi jenis
nematoda yang berasosiasi dengan pertanaman jahe di Lampung
dilaksanakan dari bulan Desember 2002 sampai bulan Februari 2003.
Pengambilan sampel akar dan tanah pertanaman jahe dilakukan
masing-masing pada satu lokasi pertanaman jahe di tiap desa di
Kecamatan Gadingrejo Kabupaten Tanggamus, Kecamatan Kedondong, dan
Kecamatan Padang Cermin Kabupaten Lampung Selatan. Ekstraksi
akar dan tanah, penghitungan, dan identifikasi nematoda dilakukan di
Laboratorium Hama Arthrophoda Jurusan Proteksi Tanaman Fakultas
Pertanian Unila. Data yang dikumpulkan adalah jumlah individu setiap
genus nematoda. Keragaman nematoda diukur dengan indeks keragaman
Shannon Wienner, indeks kemerataan, indeks kemiripan Sorensen, dan
dominansi nematoda. Kepadatan individu nematoda dianalisis ragam
dan pemisahan nilai tengahnya di uji BNT pada taraf 5%.
Hasil
penelitian menunjukkan bahwa genus nematoda yang dominan pada
pertanaman jahe di Kecamatan Gadingejo adalah Meloidogyne,
sedangkan pada pertanaman jahe di Kecamatan Kedondong dan Padang
Cermin adalah genus Pratylenchus.
Keragaman nematoda pada pertanaman jahe di Padang Cermin relatif
tinggi dengan nilai indeks keragaman Shannon Wienner yaitu 1,84 dan
di Gadingrejo relatif rendah dengan nilai indeks keragaman Shannon
Wienner yaitu 1,27 dan nilai indeks kemerataan masing-masing 0,89
dan 0,61.
Kemiripan komunitas nematoda yang diukur dengan indeks kemiripan
Sorensen pada pertanaman jahe di tiga kecamatan tersebut rendah yaitu
berkisar 0,4-0,5. Kepadatan populasi nematoda pada pertanaman jahe di
Gadingrejo lebih tinggi (138 ekor/100 cc tanah + 5 gr akar) daripada
di Kedondong (58 ekor/100 cc tanah + 5 gr akar) dan Padang Cermin
(44 ekor/100 cc tanah + 5 gr akar ).
I. PENDAHULUAN
- Latar Belakang Masalah
Jahe
(Zingiber officinale Rosc.) merupakan tanaman hortikultura
yang termasuk dalam famili Zingibericeae. Nama genus tanaman ini
diduga berasal dari bahasa Sansekerta “singaberi” yang setelah
dilatinkan menjadi Zingiber (Paimin dan Murhananto, 1999) dan
tanaman ini diduga berasal dari India (Semangun, 2000).
Di
Indonesia, jahe menjadi salah satu komoditas ekspor yang penting
disamping komoditas nirmigas yang lain. Pada tahun 1999, ekspor jahe
segar Indonesia mencapai 41.082.348 kg, atau senilai US $ 11.820.305,
dan jahe kering mencapai 2.110.204 kg, atau senilai US $ 2.300.437.
Sedangkan pada tahun 2000, nilai ekspor jahe segar 13.310.829 kg,
atau senilai US $ 3.401.287, dan jahe kering 1.031.967 kg, atau
senilai US $ 2.396.154 ( BPS, 1999 dan 2000 )
Statistik
provinsi Lampung tidak mencatat ekspor jahe secara khusus. Komoditas
jahe mungkin masuk dalam kelompok sayur-sayuran dan umbi-umbian.
Pada tahun 2000 ekspor kelompok ini mencapai 202.146 kg, atau senilai
US $ 126.934, sedangkan pada tahun 1999 sebesar 20.956.604 kg, atau
senilai US$ 3.436.094 ( BPS 1999 dan 2000 ). Ekspor jahe pada tahun
1999 lebih besar dibandingkan ekspor tahun 2000. Walaupun ekspor
jahe pada tahun 2000 mengalami penurunan, komoditas ini tetap menjadi
komoditas nirmigas penting.
Di Indonesia dikenal 3 jenis/klon jahe yang biasa dibudidayakan,
yaitu jahe merah, jahe emprit, dan jahe gajah. Jahe merah, mempunyai
rimpang berukuran kecil dan panjang, bagian luar rimpang berwarna
merah sedangkan bagian dalamnya kuning, dan rasanya sangat pedas.
Jahe emprit, mempunyai rimpang kecil dan bercabang, bagian dalam
rimpang berwarna kebiruan dan sekelilingnya kuning, rasanya pedas
tapi tidak sepedas jahe merah. Jahe gajah, mempunyai rimpang besar,
bagian dalam rimpang berwarna kuning, dan rasanya kurang pedas
(Soenarto, 2001). Secara umum, jahe emprit dan jahe merah banyak
digunakan dalam industri kosmetik dan sangat disukai oleh masyarakat
Indonesia sebagai bumbu masak dan obat, sedangkan jahe gajah lebih
banyak diekspor ke luar negeri.
Usaha-usaha
peningkatan produksi jahe terus digalakkan guna meningkatkan volume
ekspor. Akan tetapi usaha peningkatan produksi ini menghadapi banyak
kendala, salah satunya adalah ancaman dari organisme pengganggu
tanaman (OPT), baik patogen maupun hama.
Salah
satu OPT dalam budidaya jahe adalah nematoda parasitik tumbuhan. Ada
beberapa jenis nematoda yang bersifat parasitik pada tanaman jahe,
diantaranya adalah nematoda luka akar (Pratylenchus coffeae).
Nematoda ini sangat merusak pada bibit jahe umur 15 hari (Kaur, 1987
dalam Luc et al., 1995). Diketahui pula nematoda ini sering
berasosiasi dengan bakteri Rasltonia (Pseudomonas)
solanacearum, yaitu bakteri penyebab penyakit layu tanaman
kentang (Dropkin, 1992), dan tanaman jahe (Semangun, 2000). Adanya
asosiasi antara nematoda dan bakteri tersebut menyebabkan intensitas
penyakit meningkat. Selain Pratylenchus, nematoda Meloidogyne
spp., dan Radopholus similis juga merupakan parasit penting
pada tanaman jahe. Lima genus nematoda parasit lain yang berasosiasi
dengan tanaman jahe adalah Colosia, Hemicycliopora,
Tylenchorhynchus, Xiphinema, dan Haplolaimus (Luc et
al., 1995).
Sampai
saat ini studi mengenai nematoda yang berasosiasi dengan tanaman jahe
di Indonesia khususnya di Lampung belum banyak dilakukan. Oleh
karena itu penelitian ini dilakukan untuk mempelajari keragaman
nematoda pada pertanaman jahe di Lampung.
- Tujuan Penelitian
Penelitian
ini bertujuan untuk menginventarisasi jenis dan menghitung keragaman
nematoda yang berasosiasi dengan pertanaman jahe di Lampung.
1.3
Kerangka Pemikiran
Nematoda
parasit tumbuhan seringkali menjadi masalah pada tanaman yang
dibudidayakan. Secara individual nematoda hampir tidak mempunyai
efek terhadap tanaman, tetapi bila terjadi peningkatan populasi dalam
jumlah besar, nematoda mampu menimbulkan kerusakan yang serius
(Dropkin, 1992). Sebagai contoh, nematoda Meloidogyne pada
populasi 7500—10000 /kg tanah menyebabkan kerusakan akar yang
tinggi pada jahe emprit (Erlinawati, 2002).
Telah
dilaporkan bahwa nematoda yang penting pada tanaman jahe adalah
Meloidogyne spp., Radopholus sp., dan Pratylenchus
spp.. Dari ketiga genus tersebut, Meloidogyne spp., dan
Pratylenchus spp., yang sering menjadi masalah pada pertanaman
jahe. Ada 4 spesies dari genus Meloidogyne spp. yang
menyerang jahe, yaitu M. arenaria, M. hapla, M. incognita, dan
M. javanica, sedang Pratylenchus spp. terdiri dari P.
brachyurus, P. coffeae, P. indicus dan P.
pratensis (Luc et al., 1995).
Beberapa
nematoda parasit tumbuhan hidup secara bebas dalam tanah atau di
bagian luar akar dan batang. Telur, larva stadium infektif dan
nematoda jantan pada umumnya terdapat dalam tanah untuk keseluruhan
atau sebagian hidupnya (Agrios, 1996)
Beberapa
faktor yang berpengaruh terhadap kehidupan dan distribusi nematoda
adalah kelembaban tanah, filum air tanah, dan struktur tanah
(Shurtleff & Averre III, 2000). Pada tanah yang memiliki
kelembaban tinggi, gerak nematoda akan lebih mudah dari pada kondisi
tanah yang berkelembaban rendah. Pada tanah yang berkelembaban
rendah, dan berstruktur keras, filum air tanah yang dibutuhkan
nematoda untuk bergerak menjadi sangat berkurang. Nematoda pada
umumnya mampu bergerak secara aktif hanya beberapa meter dalam
setiap tahunnya.
Selain
faktor fisik, faktor tanaman juga berpengaruh terhadap nematoda.
Populasi nematoda bersifat akumulatif, nematoda akan selalu ada pada
suatu pertanaman. Sifat populasi yang akumulatif pada nematoda
terjadi karena gerak nematoda yang sangat terbatas. Keberadaan
nematoda pada suatu habitat erat kaitannya dengan pertanaman yang
ada, dan kondisi lahan sebelumnya.
- Hipotesis
Hipotesis
yang diajukan pada penelitian ini adalah keragaman nematoda berbeda
antar lokasi pertanaman jahe (Zingiber officinale Rosc.).
II. TINJAUAN PUSTAKA
- Jahe dan Nilai Pentingnya
Jahe adalah rhizoma
di dalam tanah dari tanaman Zingiber officinale Rosc.,
yaitu tanaman herba berumur panjang yang termasuk dalam
famili Zingibericeae.
Jahe sudah lama
dikenal oleh masyarakat Indonesia karena manfaatnya, baik sebagai
bumbu/penyedap makanan maupun sebagai obat. Di Indonesia dikenal 3
jenis jahe yang biasa dibudidayakan, yaitu jahe emprit, jahe merah,
dan jahe gajah (Paimin dan Murhananto, 1999). Minyak jahe (atsiri)
digunakan dalam industri parfum dan untuk penyedap makanan (Semangun,
2000)
Tanaman jahe
berbentuk herba tahunan berbatang semu yang lunak, tingginya 15-100
cm, rimpangnya tebal dan kuat, relatif selalu bercabang, diameternya
1,5-2,5 cm terletak di bawah batang semu, dan bergerombol. Bunga
jahe biasanya secara bergerombol muncul langsung dari rimpangnya
dengan panjang 10-20 cm dan warnanya kekuningan. Bunga ini merupakan
bunga steril sehingga jarang menghasilkan biji (Ashari, 1995). Daun
tanaman ini kerap kali terdiri atas 2 baris dan berselang seling di
antara batas pelepah dan helaian daun (Van Steenis, 2000).
Jahe tumbuh di
dataran rendah sampai 1500 dpl. Tanaman ini cocok pada tanah yang
tidak banyak mengandung air, landai atau agak terjal, bukan pada
tanah becek (Hariyanto, 1983)
Menurut
Kartasapoetra (1996), kandungan zat-zat utama pada jahe terdiri atas
pati sebanyak 20%--60% dan minyak atsiri sebanyak 0,5%--5,6%.
Berkaitan dengan zat-zat utamanya, jahe umumnya diolah dengan
berbagai cara dan dibedakan menjadi 3 jenis, yaitu:
- jahe hijau (green ginger), yaitu jahe segar tanpa pengolahan.
- jahe hitam (black ginger), yaitu jahe segar yang direndam dalam air mendidih, kemudian dikeringkan
- jahe putih (white ginger), yaitu jahe segar yang dikupas lapisan kulitnya, kemudian direndam dalam air kapur, setelah sebelumnya dicuci bersih
- Nematoda
2.2.1 Morfologi dan Siklus Hidup
Nematoda adalah
hewan yang lentur dan berbentuk seperti pipa, bergerak aktif,
memiliki organ lengkap, selain sistem peredaran darah dan sistem
pernafasan. Nematoda parasitik tumbuhan pada umumnya mempunyai
panjang tubuh 1-2 mm dan lebar tubuh kurang lebih 0,05 mm (Dropkin,
1992). Daur hidup nematoda dimulai dari telur kemudian berkembang
menjadi larva yang mengalami pergantian kulit sebanyak empat kali,
selanjutnya menjadi jantan atau betina dewasa. Betina dewasa
menghasilkan telur fertil baik setelah kawin dengan jantan maupun
secara partenogenesis.
III . BAHAN DAN METODE
- Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini berupa survei yang
dilaksanakan dari bulan Desember 2002 sampai Februari 2003.
Pengambilan sampel akar dan tanah dilakukan pada beberapa lokasi
pertanaman jahe, yaitu pertanaman jahe di Desa Wates dan Desa Mataram
Kecamatan Gadingrejo Kabupaten Tanggamus, Desa Umbul Solo dan Desa
Babakan Kecamatan Kedondong, serta Desa Toto Harjo dan Desa Sidorejo
Kecamatan Padang Cermin Kabupaten Lampung Selatan. Desa-desa tersebut
merupakan sentra-sentra pertanaman jahe di Lampung.
Ekstraksi, identifikasi nematoda dan
analisis data dilakukan di Laboratorium Hama Arthropoda jurusan
Proteksi Tanaman Fakultas Pertanian Universitas Lampung.
- Bahan dan Alat
Bahan-bahan yang digunakan antara lain
sampel akar dan tanah, larutan gula, glasswoll, gliserol,
aquades, kutek, asam asetat, formalin, dan alkohol. Peralatan yang
digunakan antara lain pisau, kantung plastik, alat tulis, kertas
label, saringan diameter 1 mm, 53m,
38m, botol semprot, coverglass,
sentrifuge, gelas ukur, cawan petri, mikroskop majemuk, mikroskop
stereo binokuler, dan gelas piala.
- Pelaksanaan Penelitian
- Pengambilan Sampel Akar dan Tanah
Pengambilan sampel akar dan tanah
dilakukan pada lahan pertanaman jahe yang terletak di Desa Mataram,
dan Desa Wates Kecamatan Gadingrejo Kabupaten Tanggamus, Desa Umbul
Solo, dan Desa Babakan Kecamatan Kedondong, serta Desa Toto Harjo,
dan Desa Sidorejo Kecamatan Padang Cermin Kabupaten Lampung Selatan.
Pada masing-masing lokasi pertanaman jahe dipilih situs pengambilan
sampel akar dan tanah. Pengambilan sampel akar dan tanah
dilaksanakan dari bulan Desember 2002 sampai Februari 2003.
Luasan situs pengambilan sampel akar
dan tanah pada tiap lokasi yaitu 50 m2 dengan panjang 10
m, dan lebar 5 m. Pada luasan lahan ini ditetapkan 5 situs
pengambilan sampel yang terletak pada kedua diagonal lahan. Lima
situs ini dianggap sebagai ulangan. Pada tiap situs diambil sampel
akar dan tanah pada 10 titik secara zigzag, kemudian sampel tanah
dikomposit menjadi 1 kg, dan sampel akar menjadi 5 gram. Akar dan
tanah tersebut masing-masing dimasukkan ke dalam kantung plastik dan
diberi label untuk diproses di laboratorium.
Deskripsi kondisi pertanaman jahe di
masing-masing lokasi pengambilan sampel di sajikan pada Tabel 1.
Kriteria
|
Gadingrejo
|
Kedondong
|
Padang Cermin
|
|
110 mdpl (BPS, 2002) Wates : 1 th. Mataram : 5 bl. Wates : Jahe emprit Mataram : Jahe emprit Wates : monokultur, kurang perawatan. Mataram : monokultur Wates : Awalnya di tanami jagung. Mataram : Awalnya ditanami pisang, ketela, dan jarak. Banyak ditumbuhi gulma |
150 mdpl (BPS, 2002) Umbul Solo: 3 bl Babakan : 3 bl Umbul solo : jahe kapur. Babakan : jahe gajah. Umbul Solo : monokultur Babakan : monokultur Babakan : Awalnya merupakan pertanaman kopi. Umbul Solo : Awalnya di tanami tembakau. Tidak banyak ditumbuhi gulma |
200 mdpl ( Yamin, komunikasi pribadi) Toto Harjo : 3 bl Sidorejo : 3 bl Toto Harjo :Jahe gajah. Sidorejo : Jahe Gajah TotoHarjo : tumpangsari dengan kacang tanah Sidorejo : tumpangsari dengan kacang tanah Toto Harjo, dan Sidorejo : Awalnya merupakan perkebunan karet. Banyak terdapat sumber air Tidak banyak ditumuhi gulma |
- Metode Ekstraksi Nematoda
3.3.2.1 Ekstraksi Akar
Metode ekstraksi akar yang digunakan
adalah teknik modifikasi corong Baermann (Hutagalung, 1988). Akar
tanaman jahe yang sudah didapatkan dari masing-masing tempat
pengambilan sampel dicuci bersih dan dipotong kecil-kecil kurang
lebih 0,5 cm. Potongan akar tersebut kemudian diletakkan pada
saringan berdiameter pori 1 mm yang telah dilapisi dengan kertas
tisu. Kemudian saringan berisi potongan akar tersebut direndam dalam
air pada mangkuk plastik selama 24 jam. Selanjutnya larva yang
tertampung dalam mangkuk dihitung di bawah mikroskop stereo binokuler
dengan perbesaran 40 kali. Penghitungan diulang 3 kali.
- Ekstraksi Tanah
Metode ekstraksi yang digunakan adalah
sieving and gravity method (Cobb,
dalam Shurtleff and Averre III, 2000), serta cara sentrifugasi
dengan larutan gula (Dropkin, 1992). Larutan gula disiapkan dengan
cara melarutkan 500 g gula dalam air sehingga volumenya menjadi 1000
ml larutan.
Dari setiap sampel
diambil 100 cc tanah dan dimasukkan ke dalam ember berisi air,
diremas-remas kemudian didiamkan agar mengendap selama
5 menit. Kemudian suspensi tanah disaring dengan menggunakan
saringan 1 mm dan ditampung dalam ember lain. Bagian yang ada dalam
saringan dibuang, kemudian suspensi yang ada pada ember didiamkan
supaya mengendap lalu suspensi tanah didekantasi kembali melalui
saringan dengan diameter 53 m.
Bagian yang ada
pada saringan dikumpulkan dalam tabung sentrifus dan disentrifus
selama 5 menit. Selanjutnya supernatan dibuang dan endapannya
ditambah dengan larutan gula sebanyak 2 kali tinggi endapan yang
terdapat pada tabung sentrifus, lalu diaduk rata dan sentrifus lagi
selama 5 menit. Supernatan yang berada pada permukaan tabung
sentrifus disaring lagi dengan saringan 38 m.
Bahan yang tertinggal dicuci dengan air botol semprot dan hasilnya
dikumpulkan dalam botol suspensi nematoda.
- Fiksasi
Untuk mengawetkan
nematoda hasil ekstraksi, dilakukan fiksasi dengan menggunakan FAA
(Formalin Acetic Acid). Sebelum difiksasi, nematoda dimatikan
dengan memanaskan botol berisi suspensi nematoda dalam air sampai
suhunya 50o c. Setelah itu ke dalam botol-botol tersebut
ditambahkan FAA sebanyak 2 kali tinggi larutan.
- Identifikasi Nematoda dan Perhitungan
Identifikasi dilakukan dengan membuat
preparat semi permanen. Mula-mula nematoda dalam suspensi diamati di
bawah mikroskop stereo, kemudian nematoda dikait dan diletakkan di
atas kaca preparat yang telah diberi gliserol dan glaswoll. Preparat
ditutup dengan gelas penutup kemudian direkatkan dengan cairan kutek,
lalu diamati di bawah mikoskop majemuk dengan perbesaran 100- 400 x.
Identifikasi
nematoda dilakukan dengan membandingkan spesimen nematoda dengan
gambar pada buku Diagnosing Plant Diseases Caused By Nematodes
(Shurtleff and Averre, 2000) dan buku
Pictorial Key To Genera Of Plant-Parasitic Nematodes (Mai &
Lyon, 1975). Setelah itu populasi setiap nematoda dihitung dengan
cara suspensi nematoda diletakkan dalam cawan petri bergaris bujur
sangkar berukuran 1x 1 cm. Nematoda dihitung di bawah mikroskop
stereo binokuler perbesaran 40 x (Dropkin, 1992). Suspensi nematoda
yang akan dihitung sebanyak 100 ml, baik suspensi nematoda dari tanah
maupun dari akar.
- Analisis Data
Data yang dikumpulkan
adalah jumlah individu nematoda setiap genusnya. Untuk mengetahui
keragaman dan dominansi nematoda digunakan rumus-rumus sebagai
berikut :
1. Indeks Keragaman
Shannon-Wienner ( Nughton and Wolf, 1998 )
H =
pi x ln pi
Keterangan:
H = Indeks keragaman Shannon-Wienner
Pi = Proporsi takson ke-I dalam total terok
- Indeks kemerataan ( Nughton and Wolf, 1998 )
J = H/ lnS
Keterangan:
J :
Indeks Kemerataan
H : Indeks Shannon Wienner
S : Jumlah Takson
- Indeks kemiripan Sorernsen (Barker, et al., 1985)
IS =
2.C/ A + B
Keterangan:
IS :
Indeks Sorensen
C :
Jumlah jenis organisme yang terdapat di tempat a, maupun b
a :
Jumlah jenis organisme di tempat a
B :
Jumlah jenis organisme di tempat b
- Dominasi dan Nilai Penting Antar Kedalaman Tanah (Norton, 1978)
-
Kepadatan Relatif : Jumlah individu genus a/jumlah total individu
x100%
-
Frekuensi Relatif : Frekuensi genus a/jumlah total Individu x 100%
-
Dominansi Relatif : Unit terok genus a/unit terok seliruh takson x
100%
-
Nilai Penting : Kepadatan Relatif+Frekuernsi Relatif+Dominansi
Relatif
-
Perbandingan : Nilai penting genus x/jumlah nilai penting seluruh
genus x 100%
Data populasi nematoda
dari tiap wilayah pengambilan sampel tanah dan akar diolah dengan
sidik ragam. Nilai tengah populasi nematoda di uji dengan menggunakan
uji Beda Nyata Terkecil (BNT) pada taraf nyata 5%.
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
- Keragaman dan Kemerataan Nematoda
Keragaman nematoda akar dan tanah pada pertanaman
jahe yang diukur dengan indeks Shannon Wienner berkisar 1,27-1,84 dan
kemerataan nematoda diukur dengan indeks kemerataan berkisar
0,61-0,89. Keragaman dan Kemerataan nematoda dalam akar dan tanah di
kecamatan Padang Cermin lebih tinggi daripada di kecamatan
Kedondong, dan kecamatan Gadingrejo (Tabel 2.)
Tabel 2. Keragaman dan kemerataan nematoda akar dan tanah pada
pertanaman jahe pada tiga kecamatan di Kabupaten Tanggamus
Lokasi
|
Indeks Keragaman Shannon Wienner
|
Indeks Kemerataan
|
|
1,27
1,49
1,84
|
0,61
0,77
0,89
|
Keterangan : - * Umur tanaman jahe 5 bulan.
- **
Umur tanaman jahe
3 bulan.
Menurut Zoer’aini (1992), semakin tinggi
keragaman hayati, maka semakin tinggi pula jumlah jenis organisme
yang ditemui pada suatu ekosistem. Ekosistem yang keragaman
hayatinya tinggi relatif stabil.
Ekosistem yang keragaman nematodanya tinggi,
seperti pertanaman jahe di Padang Cermin (Tabel 2.) berarti memiliki
jumlah jenis nematoda yang tinggi. Tingginya jumlah jenis nematoda
di Padang Cermin mungkin disebabkan oleh kelembaban tanah yang
tinggi. Semakin tinggi suatu tempat kelembaban tanahnya juga semakin
tinggi (Ellenberg, 1986 dalam Espig, 1988). Hal ini mungkin berlaku
di Padang Cermin yang ketinggian tempatnya lebih tinggi (200 mdpl)
daripada Kedondong dan Gadingrejo. Pada tanah dengan struktur tanah
yang remah dan kelembaban tanah yang tinggi pergerakan nematoda akan
lebih mudah (Shurtleff & Averre, 2000).
Dalam ekologi, semua spesies dalam lingkungan yang
hidup bersama, berinterakasi satu sama lain (Oka, 1993). Interaksi
antar nematoda diduga tinggi pada tempat yang berkeragaman tinggi,
ditempat ini kompetisi antar individu nematoda juga tinggi. Apabila
kompetisi tinggi peluang untuk terjadinya peledakan populasi suatu
jenis organisme rendah. Dengan demikian kemungkinan terjadinya
masalah nematoda pada pertanaman jahe di Kecamatan Padang Cermin
lebih rendah daripada di Kecamatan Kedondong, dan Gadingrejo.
Kemerataan nematoda di Padang Cermin juga lebih
tinggi daripada di Kedondong dan di Gadingrejo. Ini berarti jumlah
tiap jenis nematoda di Kecamatan Padang Cermin lebih merata.
Komunitas nematoda semacam ini terjadi pada ekosistem yang relatif
stabil. Diketahui, apabila jumlah jenis suatu spesies meningkat,
dukungan dari spesies yang lebih melimpah akan menurun, dalam hal ini
spesies menjadi kurang penting bila keragaman meningkat (McNaughton &
Wolf, 1998) yang berarti spesies akan lebih merata.
Pertanaman jahe di Kecamatan Kedondong dan
Gadingrejo dimana ketinggian tempatnya lebih rendah daripada Padang
Cermin mempunyai keragaman nematoda yang lebih rendah. Di Kecamatan
Gadingrejo dan Kecamatan Kedondong jahe ditanam terus secara
monokultur sepanjang tahun. Pola tanam semacam ini mengakibatkan
populasi dari jenis nematoda tertentu khususnya yang menyerang
tanaman jahe akan semakin melimpah.
- Dominansi Nematoda
Dari
tiga kecamatan didapatkan 15 genus nematoda, nematoda parasitik
terdapat 13 jenis, dan 2 jenis nematoda nir parasitik. Nematoda akar
dan tanah pada pertanaman jahe yang dominan (Tabel 3.) dari semua
wilayah pengambilan sampel akar dan tanah adalah
Meloidogyne dan Pratylenchus.
Dari
genus nematoda yang diperoleh ditemui 2 genus nematoda nirparasit
yaitu Rhabditis dan
Dorylaimus. Dominasi
nematoda kemungkinan besar juga berpengaruh terhadap tinggi rendahnya
keragaman nematoda. Menurut McNaughton & Wolf (1998), dominansi
suatu spesies terdapat pada komunitas yang keragaman spesiesnya
rendah.
Di Kecamatan Kedodong dan Gadingrejo nematoda yang
dominan adalah Meloidogyne dan Pratylenchus. Kedua jenis
nematoda ini adalah nematoda parasit yang umum terdapat pada
pertanaman jahe (Luc et al, 1995). Dalam ekologi, spesies
mahluk hidup yang paling umum dalam suatu komunitas tertentu disebut
sebagai spesies yang dominan, dalam arti sebagian besar proporsi
sumber daya yang tersedia dimanfaatkan oleh spesies tersebut dengan
merugikan organisme lain (McNaughton & Wolf, 1998). Nilai
dominansi kedua jenis nematoda ini terlihat lebih tinggi dibanding
dengan jenis yang lain (Tabel 3.). Dalam arti kedua jenis nematoda
ini yang paling melimpah/banyak terdapat pada pertanaman jahe di
Kecamatan Kedondong dan Gadingrejo.
Tabel 3. Dominansi Nematoda yang dominan pada pertanaman jahe di tiga
kecamatan di Lampung
No
|
Genus |
Gadingrejo
|
Kedondong
|
Padang Cermin
|
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
|
Pratylenchus (p)
Meloidogyne (p)
Aphelenchoides (p)
Rhabditis (n)
Hemicycliophora (p)
Radopholus (p)
Pratylenchoides (p)
Cricenomoides (p)
Tylenchorhynchus (p)
Haplolaimus (p)
Tylenchulus (p)
Heterodera (p)
Meliododera (p)
Dorylaimus (n)
Dolichodorus (p)
|
14,24
19,07
11,20
12,12
10,77
11,06
10,77
00,00
00,00
00,00
00,00
00,00
00,00
10,07
00,00
|
20,34
00,00
00,00
14,49
12,81
00,00
00,00
12,42
12,42
12,42
15,10
00,00
00,00
00,00
00,00
|
14,54
11,36
00,00
00,00
14,09
12,27
00,00
00,00
13,18
00,00
00,00
11,36
11,82
00,00
11,36
|
Di Kecamatan Padang Cermin walaupun nematoda
Pratylenchus adalah dominan, tetapi nilainya tidak jauh lebih
tinggi daripada nematoda jenis lain, artinya banyak spesies lain yang
hidup bersama dalam komunitas ini, dan kemungkinan kompetisi terhadap
ruang dan makan juga tinggi. Kemudian, yang terjadi adalah daya
dukung spesies yang melimpah menjadi menurun sehingga keragaman
meningkat, maksudnya peran suatu spesies menjadi kurang penting bila
keragaman meningkat (McNaughton & Wolf, 1998). Hal lain yang
menyebabkan keragaman jenis yang tinggi di Padang Cermin kemungkinan
karena tanaman jahe ditanam tumpang sari dengan tanaman kacang tanah.
- Kemiripan Jenis Nematoda
Hasil perhitungan Indeks kemiripan Sorensen (Tabel
4.), menunjukkan bahwa kemiripan jenis nematoda pada pertanaman jahe
di Kecamatan Gadingrejo, Kedondong, dan Padang Cermin memiliki nilai
kemiripan nematoda berkisar 0,4-0,5.
Tabel 4. Indeks Sorensen komunitas nematoda pada pertanaman jahe di tiga kecamatan di Lampung
Lokasi
|
Kec. Gadingrejo
|
Kec. Kedondong
|
Kec. Padang Cermin
|
Kec. Gadingrejo
Kec. Kedondong
Kec. Padang cermin
|
1
-
-
|
0,4
1
-
|
0,5
0,4
1
|
Nilai indeks kemiripan nematoda di Gadingrejo dan
Kedondong 0,4 artinya ada 40% jenis nematoda yang sama. Jenis-jenis
nematoda yang terdapat di Gadingrejo jarang di temui di Kedondong
atau kemiripan nematodanya rendah, begitu juga dengan nilai indeks
kemiripan nematoda di Gadingrejo dan Kedondong yaitu 0,5, serta
Kedondong dan Padang Cermin yaitu 0,4.
Menurut Norton (1978), apabila spesies yang ada
pada dua habitat memiliki indeks kemiripan 1,0 dikatakan mempunyai
kemiripan yang tinggi atau spesies yang ada di dua tempat tersebut
sama. Sedangkan bila nilai indeks kemiripan 0,5 dapat dikatakan
kemiripannya rendah dan nilai indeks kemiripan 0 maka dikatakan tidak
memiliki kemiripan. Kemiripan nematoda yang rendah (Gadingrejo
versus Padang Cermin dan Kedondong versus Padang Cermin) berarti
spesies yang ada didua tempat tersebut tidak sama atau hanya sedikit
spesies yang sama dijumpai di dua tempat tersebut. Hal ini diduga
karena lingkungan yang berbeda dimana ekosistem di Gadingrejo dan
Kedondong yang topografi lahannya lebih rendah akan berbeda dengan
ekosistem Padang Cermin yang topografi lahannya lebih tinggi.
- Populasi Nematoda Akar dan Tanah
Hasil uji Beda Nyata Terkecil (BNT) populasi
nematoda di Kecamatan Padang Cermin tidak berbeda dengan Kecamatan
Kedondong, tetapi berbeda nyata dengan populasi nematoda di
Gadingrejo (Tabel 5.).
Tabel 4. Populasi nematoda pada pertanaman jahe di tiga kecamatan di
Lampung
Lokasi pertanaman
|
Ekor/100 ml suspensi
|
Kec. Gadingrejo
Kec. Kedondong
Kec. Padang Cermin
|
138 b
58 a
44 a
|
F Hitung = 64,7n
|
Keterangan : -
Angka merupakan rerata jumlah nematoda dan huruf yang sama
menyatakan tidak berbeda nyata menurut uji BNT 5 %.
- n = nyata menurut uji BNT pada taraf 5 %.
Di Kecamatan Gadingrejo populasi nematoda nyata
lebih tinggi dibandingkan Kedondong dan Padang Cermin. Di tempat ini
jenis nematoda yang ada di dominasi oleh Meloidogyne, berarti
nematoda jenis ini memiliki kepadatan populasi yang paling tinggi
sebgaimana diketahui bahwa spesies yang dominan adalah yang
jumlahnya paling melimpah dan mampu menguasai sumberdaya. Di
Kecamatan Gadingrejo dan Padang Cermin populasi nematodanya tidak
berbeda nyata, hal ini mungkin dikarenakan kuatnya interaksi antar
spesies nematoda, dalam hal ini kompetisi yang terjadi tinggi baik
kompetisi antar sesama jenis dalam ruang dan makanan, maupun
kompetisi dengan musuh alami nematoda (Margalef, 1968, Mac Arthur,
1972 dalam McNaughton & Wolf, 1998).
V.
SIMPULAN DAN SARAN
- Simpulan
Dari penelitian yang dilakukan dapat disimpulkan bahwa :
- Genus nematoda yang dominan adalah Pratylenchus (pada pertanaman jahe di Kedondong dan Padang Cermin) dan Meloidogyne (pada pertanaman jahe di Gadingrejo).
- Keragaman dan kemerataan nematoda cenderung berbeda antar lokasi pertanaman jahe, keragaman dan kemerataan relatif tinggi pada pertanaman jahe di Kecamatan Padang Cermin (indeks keragaman Shannon Wienner =1,84 dan 0,89) dan terendah pada pertanaman jahe di Kecamatan Gadingrejo (indeks keragaman Shannon Wienner =1,27 dan 0,61), sedangkan kemiripan komunitas nematoda yang diukur dengan indeks kemiripan Sorensen berkisar 0,4-0,5.
- Populasi nematoda pada pertanaman jahe di Kecamatan Gadingrejo lebih tinggi (138 ekor/100 cc tanah + 5 gr akar) daripada di Kecamatan Kedondong (58 ekor/100 cc tanah + 5 gr akar) dan Padang Cermin (44 ekor/100 cc tanah + 5 gr akar).
- Saran
Disarankan adanya
penelitian-penelitian lain tentang keragaman nematoda dengan
menggunakan parameter keragaman yang lebih luas dan mengukur variabel
lain yang mempengaruhinya.
DAFTAR PUSTAKA
Agrios,
G. N. 1996. Ilmu Penyakit Tumbuhan. Gadjah Mada University Press.
Yogyakarta. 616 hlm.
Ashari. 1995. Hortikultura. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta
Anderson,
D.T. (Editor). 1999. Invertebrate Zoology.Oxford University
Press Melbourne. Oxford Auckland. New Yok. 99 pp.
BPS.
1999. Bulletin Statistik Perdagangan Luar Negeri (Foreign Trade
Statistical Bulletin Exsports). Jilid I. Katalog BPS 8102.
BPS Jakarta Indonesia. 61-62 hlm.
BPS.
2000. Bulletin Statistik Perdagangan Luar Negeri (Foreign Trade
Statistical Bulletin Exsports). Jilid I. Katalog BPS 8102.
BPS Jakarta Indonesia. 61-62 hlm.
BPS.
1999. Bulletin Statistik Perdagangan Luar Negeri (Foreign Trade
Statistical Bulletin Exsports). Jilid II. Katalog BPS 8103. BPS
Jakarta Indonesia. 1833 hlm.
BPS.
2000. Bulletin Statistik Perdagangan Luar Negeri (Foreign Trade
Statistical Bulletin Exsports ). Jilid II. Katalog BPS
8103. BPS Jakarta Indonesia. 1833 hlm.
Barker,
K. R, C. C. Carter, J.N. Sassen, 1985. An Advanced Treasure Of
Meloidogyne. Volume II. Metodology International Meloidogyne
Project. North Carolina State University Graphics. 13 pp
Dropkin,
V.H. 1992. Pengantar Nematologi Tumbuhan. Dialihbahasakan oleh
Supratoyo. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. 366 hlm.
Erlinawati,
D. 2002. Pengaruh Populasi Nematoda Puru Akar (Meloidogyne
sp.) Terhadap Pertumbuhan dan Kerusakan Tanaman Jahe (Zingiber
officinale, Rosc.). Skripsi. Universitas Lampung. Bandar Lampung.
27 hlm.
Hariyanto,
S.N. 1983. Petunjuk Bertanam dan Kegunaan Jahe. Karya Anda. Surabaya.
13 hlm.
Hutagalung,
L. 1988. Teknik Ekstraksi dan Membuat Preparat Nematoda Parasit Tum
buhan. Rajawali Press. Jakarta.97 hlm
Indah
SY, D.R. 1999. Keragaman dan Dominansi Nematoda Parasit Tumbuhan Pada
Lahan Pertanaman Pisang (Musa sp.). Skripsi. Universitas
Lampung. Bandar Lampung. 22 hlm.
Luc,
M., R.A. Sikora, dan J. Bridge. 1995.Nematoda Parasitik Tumbuhan di
Pertanian Tropik dan Subtropik. Dialihbahasakan oleh Supratoyo.
Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. 772 hlm.
Mai,
W.F., and H.H., Lyon (photographer). 1975. Pictorial Key To
Genera Of Plant Parasitic Nematodes. Cornell University Press. London
Nughton,
Mc., A.J. Wolf, L.L. 1998. Ekologi Umum. Gadjah Mada University
Press. Yogyakarta. 608 hlm.
Norton,
Don. C.1978. Departement Of Botany and Plant Pathology. Awiley
Interscience Publication. John Wiley or Son. New York, Chicester,
Brisbane, Toronto. 67 pp
Kartasapoetra,
G. 1996. Budidaya Tanaman Berkhasiat Obat (Meningkatkan Apotik Hidup
dan Pendapatan Para Keluarga Petani, dan PKK) PT. Rineka Cipta.
Jakarta. 64 hlm.
Paimin,
F.B., Murhananto. 1999. Budidaya,Pengelolaan, Perdagangan Jahe.
Penebar Swadaya. Jakarta. 96 hlm.
Semangun,
H. 2000. Penyakit-Penyakit Tanaman Hortikultura di Indonesia. Gadjah
Mada University Press. Yogyakarta. 222 hlm.
Sutarya,
R.G. Grubber (Penyunting Ilmiah), Sutarno, H.1995. Pedoman Bertanam
Sayuran Dataran Rendah. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta
bekerjasama dengan PROSEA Indonesia, dan Bakai Hortikultura Lembang.
57 hlm.
Shurtleff,
M.C.,and Averre III, C. W. 2000. Diagnosing Plant Diseases Caused
By Nematodes. APS Press. The American Phythopatology Society St.
Paul, Minnesota. USA. 187 pp.
Soenarto,
H. 2001. Budidaya Jahe dan Peluang Usaha. Aneka Ilmu. Semarang. 9
hlm.
Van
Steenis, C.G.G.J. Bekerja sama dengan D. der Bloed, S. Bloemberger.
2000. Flora Untuk Sekolah di Indonesia. P.J. Eyma. PT. Pradnya
Paramita. 154 hlm.
Yamin.
2003. Komunikasi Pribadi.
Zoer’aini,
D. I. 1992. Prinsip-Prinsip Ekologi dan Organisasi Ekosistem,
Komunitas, dan Lingkungan. Bumi Aksara. Jakarta. 184 hlm.
Imam Masyhuda, SP
Tidak ada komentar:
Posting Komentar