Kamis, 29 November 2018

LAPORAN PEMBUATAN KOLEKSI Penyakit Darah Pisang (Ralstonia solanacearum)



Oleh:
Agus Setiono, SP

POPT Ahli Pertama BKP Kelas 1 Palembang
(Tahun2017)




  1. P E N D A H U L U A N

A. Latar Belakang
Koleksi penyakit tanaman yang dibuat melalui suatu rangkaian kegiatan yang diawali dengan pengumpulan specimen hama dan penyakit di lapangan, pencatatan data, pembuatan specimen koleksi, kemudian disimpan dalam ruang koleksi. Seluruh kegiatan dilakukan dengan menggunakan metode, bahan dan alat yang standar. Data yang diperlukan untuk melengkapi specimen bukti diantaranya: lokasi dan tanggal specimen dikoleksi, kolektor, tanaman inang, identitas OPT serta informasi lainnya. Spesimen bukti kemudian dikelola dan disimpan dalam ruangan khusus dan dikelola oleh petugas khusus agar specimen selalu berada dalam keadaan terstandar. Spesimen ini dapat berfungsi sebagai sumber informasi ilmiah yang sah, yaitu sebagai “Catatan tentang Hama dan penyakit”
Koleksi specimen penyakit menjadi sangat penting, terutama didalam pemenuhan persyaratan keabsahan suatu informasi yang berkaitan dengan Organisme Pengganggu Tumbuhan, terutama informasi yang berkaitan dengan keberadaan dan daerah sebar suatu OPT. Pembuatan koleksi specimen OPT sudah merupakan suatu keharusan bagi suatu Negara sebagaimana dikehendaki oleh Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), yang telah menerapkan aturan-aturan berkenaan dengan kesehatan tanaman dan produk tanaman pada perdagangan komoditi pertanian. Pemerintah dengan menggunakan persetujuan Sanitary and Phytosanitary (SPS) telah menetapkan persyaratan-persyaratan berdasarkan asas-asas ilmiah dan penilaian resiko segai upaya untuk melindungi pertanian dan industry pertanian dari kerugian atau kerusakan yang disebabkan oleh OPT asing.
Indonesia sebagai salah satu negara anggota WTO tidak bisa melepaskan diri darituntutan tersebut, sehingga cepat atau lambat “koleksi spesimen penyakit” harus dibuat dan harus dimiliki.


B. Maksud dan Tujuan
Kegiatan pembuatan koleksi OPT/OPTK ini bertujuan:
  1. Untuk meningkatkan kemampuan teknis POPT dalam pembuatan koleksi standar
  2. Untuk menambah tersedianya koleksi OPTK pada Laboratorium
  3. Mendukung terwujudnya visi Badan Karantina Pertanian
  4. Pemenuhan persyaratan keabsahan suatu informasi yang berkaitan dengan Organisme Pengganggu Tumbuhan, terutama informasi yang berkaitan dengan keberadaan dan daerah sebar suatu OPT.

C. Indikator Keluaran

Kuantitatif : Tersedianya petugas laboratorium yang mahir dalam pembuatan koleksi
standar.
Kualitatif : Terwujudnya peningkatan pengetahuan tenaga teknis dan fungsional POPT
Balai Karantina Pertanian Kelas I Palembang, sehingga pelayanan karantina
professional dan efektif serta fungsi pengawasan OPT/OPTK yang terbawa
media pembawa lebih optimal.
Hasil pembuatan koleksi standar OPT/OPTK berupa koleksi basah


  1. PELAKSANAAN

A. Metode Pelaksanaan
Pembuatan koleksi OPTK dilaksanakan dengan metode pembuatan koleksi standar yang bahannya langsung diambil dari tanaman padi yang terserang bakteri yang disebabkan oleh Ralstonia solanacearum dari Kab. Prabumulih dan Kab. Muara Enim.

B. Tempat/Tanggal Pelaksanaan
Kegiatan pembuatan koleksi OPTK ini dilaksanakan di Laboratorium Balai Karantina Pertanian Kelas I Palembang.

C. Pelaksana Kegiatan
Pelaksana Kegiatan Pembuatan Koleksi tanaman padi yang terserang bacterial Grain Root yang disebabkan oleh Bacteri Ralstonia solanacearum adalah Petugas Pengendali Organisme Pengganggu Tumbuhan (POPT) : Agus Setiono, SP.


  1. HASIL DAN PEMBAHASAN


Penyakit Grain Root yang disebabkan oleh Bacteri Ralstonia solanacearum dibuat koleksi Basah yaitu:
Pembuatan Koleksi Basah
1. Bahan yang digunakan:
a. Buah Pisang yang terserang penyakit Darah Pisang yang disebabkan oleh
Bacteri Ralstonia solanacearum
b. Botol koleksi basah
c. Asam Asetat
d. Cupri Sulfate
e. Formalin 5 %
f. Air Steril
g. Parafilm.
h. Kertas Label.

2. Penanganan specimen dari lapangan:
a. Dari lapangan Buah Pisang yang terserang penyakit Darah Pisang yang disebabkan oleh Bacteri Ralstonia solanacearum dicuci pada air yang mengalir, untuk menghilangkan tanah, debu dan kontaminan lainnya.
  1. Specimen dikeringkan dengan cara diletakkan di atas kertas hisap atau Koran.
  2. Buah Pisang diatur sedemikian rupa, bila perlu diadakan pemotongan bagian-bagian tanaman yang tidak dibutuhkan.

3. Langkah-langkah pembuatan koleksi basah:
  1. Larutan induk dibuat dengan cara mencampurkan asam asetat sebanyak 100 ml dengan terusi (cupri sulfate) sebanyak 50 gram.
  2. Specimen dimasukkan ke dalam larutan induk, kemudian didihkan sekitar ± 3 menit. Warna daun akan berubah menjadi hijau kekuningan dan kemudian garam tembaga akan mengembalikan warna hijau asal.
  3. Setelah matang, lalu dicuci dengan air bersih, kemudian dimasukkan ke dalam botol koleksi yang telah diisi dengan formalin 5 %.
  4. Botol koleksi ditutup dengan memakai vaselin atau menggunakan parafilm.
  5. Koleksi diberi label yang lengkap.
Nama Inang : Buah Pisang
Lokasi : Kab. Prabumulih dan Kab. Muara Enim
Gejala : penyakit Darah Pisang yang disebabkan oleh
Bacteri Ralstonia solanacearum
Surveyer : Ir. Septa Indah, M.Si (Penanggung Jawab Pemantauan Kab. Prabumulih)
Ir. Soraya Sjamsuddin (Penanggung Jawab Pemantauan Kab.
Muara Enim)
Kolektor : Agus Setiono, SP
Tanggal koleksi : 08 Mei 2017

                                                IV. KESIMPULAN

Pelaksanaan kegiatan pembuatan koleksi OPTK yang dilaksanakan oleh Balai Karantina Pertanian Kelas I Palembang dapat disimpulkan bahwa:
  1. Dari hasil kegiatan pembuatan koleksi OPTK ini maka Koleksi Laboratorium Balai Karantina Pertanian Kelas I Palembang bertambah satu jenis koleksi OPTK A2 yaitu: penyakit Bacterial Grain Root yang disebabkan oleh Bacteri Ralstonia solanacearum
  2. Kegiatan pembuatan koleksi OPTK ini sangat bermanfaat bagi petugas pelaksana karena dapat menambah ilmu atau keahlian dalam pembuatan koleksi
  3. Dengan adanya koleksi OPTK Balai Karantina Pertanian Kelas I Palembang dapat memberikan pelayanan prima dalam pengujian laboratorium yang terpercaya.












                                       Foto : Koleksi Basah Ralstonia solanacearum, (Agus.2017)








Rabu, 21 November 2018

KERAGAMAN NEMATODA PADA PERTANAMAN JAHE (Zingiber officinale Rosc.) DI LAMPUNG


ABSTRAK


KERAGAMAN NEMATODA PADA PERTANAMAN JAHE (Zingiber officinale Rosc.) 
DI LAMPUNG

Oleh



Jahe (Zingiber officinale Rosc.) merupakan salah satu komoditi ekspor yang penting bagi Indonesia. Namun, sampai saat ini produksinya masih tergolong rendah. Salah satu kendala yang dihadapi dalam budidaya tanaman ini adalah serangan nematoda parasitik tumbuhan.

Penelitian yang bertujuan untuk mempelajari keragaman dan menginventarisasi jenis nematoda yang berasosiasi dengan pertanaman jahe di Lampung dilaksanakan dari bulan Desember 2002 sampai bulan Februari 2003. Pengambilan sampel akar dan tanah pertanaman jahe dilakukan masing-masing pada satu lokasi pertanaman jahe di tiap desa di Kecamatan Gadingrejo Kabupaten Tanggamus, Kecamatan Kedondong, dan Kecamatan Padang Cermin Kabupaten Lampung Selatan. Ekstraksi akar dan tanah, penghitungan, dan identifikasi nematoda dilakukan di Laboratorium Hama Arthrophoda Jurusan Proteksi Tanaman Fakultas Pertanian Unila. Data yang dikumpulkan adalah jumlah individu setiap genus nematoda. Keragaman nematoda diukur dengan indeks keragaman Shannon Wienner, indeks kemerataan, indeks kemiripan Sorensen, dan dominansi nematoda. Kepadatan individu nematoda dianalisis ragam dan pemisahan nilai tengahnya di uji BNT pada taraf 5%. 

Hasil penelitian menunjukkan bahwa genus nematoda yang dominan pada pertanaman jahe di Kecamatan Gadingejo adalah Meloidogyne, sedangkan pada pertanaman jahe di Kecamatan Kedondong dan Padang Cermin adalah genus Pratylenchus. Keragaman nematoda pada pertanaman jahe di Padang Cermin relatif tinggi dengan nilai indeks keragaman Shannon Wienner yaitu 1,84 dan di Gadingrejo relatif rendah dengan nilai indeks keragaman Shannon Wienner yaitu 1,27 dan nilai indeks kemerataan masing-masing 0,89 dan 0,61. Kemiripan komunitas nematoda yang diukur dengan indeks kemiripan Sorensen pada pertanaman jahe di tiga kecamatan tersebut rendah yaitu berkisar 0,4-0,5. Kepadatan populasi nematoda pada pertanaman jahe di Gadingrejo lebih tinggi (138 ekor/100 cc tanah + 5 gr akar) daripada di Kedondong (58 ekor/100 cc tanah + 5 gr akar) dan Padang Cermin (44 ekor/100 cc tanah + 5 gr akar ).

I. PENDAHULUAN


  1. Latar Belakang Masalah

Jahe (Zingiber officinale Rosc.) merupakan tanaman hortikultura yang termasuk dalam famili Zingibericeae. Nama genus tanaman ini diduga berasal dari bahasa Sansekerta “singaberi” yang setelah dilatinkan menjadi Zingiber (Paimin dan Murhananto, 1999) dan tanaman ini diduga berasal dari India (Semangun, 2000).
Di Indonesia, jahe menjadi salah satu komoditas ekspor yang penting disamping komoditas nirmigas yang lain. Pada tahun 1999, ekspor jahe segar Indonesia mencapai 41.082.348 kg, atau senilai US $ 11.820.305, dan jahe kering mencapai 2.110.204 kg, atau senilai US $ 2.300.437. Sedangkan pada tahun 2000, nilai ekspor jahe segar 13.310.829 kg, atau senilai US $ 3.401.287, dan jahe kering 1.031.967 kg, atau senilai US $ 2.396.154 ( BPS, 1999 dan 2000 )
Statistik provinsi Lampung tidak mencatat ekspor jahe secara khusus. Komoditas jahe mungkin masuk dalam kelompok sayur-sayuran dan umbi-umbian. Pada tahun 2000 ekspor kelompok ini mencapai 202.146 kg, atau senilai US $ 126.934, sedangkan pada tahun 1999 sebesar 20.956.604 kg, atau senilai US$ 3.436.094 ( BPS 1999 dan 2000 ). Ekspor jahe pada tahun 1999 lebih besar dibandingkan ekspor tahun 2000. Walaupun ekspor jahe pada tahun 2000 mengalami penurunan, komoditas ini tetap menjadi komoditas nirmigas penting.
Di Indonesia dikenal 3 jenis/klon jahe yang biasa dibudidayakan, yaitu jahe merah, jahe emprit, dan jahe gajah. Jahe merah, mempunyai rimpang berukuran kecil dan panjang, bagian luar rimpang berwarna merah sedangkan bagian dalamnya kuning, dan rasanya sangat pedas. Jahe emprit, mempunyai rimpang kecil dan bercabang, bagian dalam rimpang berwarna kebiruan dan sekelilingnya kuning, rasanya pedas tapi tidak sepedas jahe merah. Jahe gajah, mempunyai rimpang besar, bagian dalam rimpang berwarna kuning, dan rasanya kurang pedas (Soenarto, 2001). Secara umum, jahe emprit dan jahe merah banyak digunakan dalam industri kosmetik dan sangat disukai oleh masyarakat Indonesia sebagai bumbu masak dan obat, sedangkan jahe gajah lebih banyak diekspor ke luar negeri.
Usaha-usaha peningkatan produksi jahe terus digalakkan guna meningkatkan volume ekspor. Akan tetapi usaha peningkatan produksi ini menghadapi banyak kendala, salah satunya adalah ancaman dari organisme pengganggu tanaman (OPT), baik patogen maupun hama.
Salah satu OPT dalam budidaya jahe adalah nematoda parasitik tumbuhan. Ada beberapa jenis nematoda yang bersifat parasitik pada tanaman jahe, diantaranya adalah nematoda luka akar (Pratylenchus coffeae). Nematoda ini sangat merusak pada bibit jahe umur 15 hari (Kaur, 1987 dalam Luc et al., 1995). Diketahui pula nematoda ini sering berasosiasi dengan bakteri Rasltonia (Pseudomonas) solanacearum, yaitu bakteri penyebab penyakit layu tanaman kentang (Dropkin, 1992), dan tanaman jahe (Semangun, 2000). Adanya asosiasi antara nematoda dan bakteri tersebut menyebabkan intensitas penyakit meningkat. Selain Pratylenchus, nematoda Meloidogyne spp., dan Radopholus similis juga merupakan parasit penting pada tanaman jahe. Lima genus nematoda parasit lain yang berasosiasi dengan tanaman jahe adalah Colosia, Hemicycliopora, Tylenchorhynchus, Xiphinema, dan Haplolaimus (Luc et al., 1995).
Sampai saat ini studi mengenai nematoda yang berasosiasi dengan tanaman jahe di Indonesia khususnya di Lampung belum banyak dilakukan. Oleh karena itu penelitian ini dilakukan untuk mempelajari keragaman nematoda pada pertanaman jahe di Lampung.
    1. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk menginventarisasi jenis dan menghitung keragaman nematoda yang berasosiasi dengan pertanaman jahe di Lampung.
1.3 Kerangka Pemikiran
Nematoda parasit tumbuhan seringkali menjadi masalah pada tanaman yang dibudidayakan. Secara individual nematoda hampir tidak mempunyai efek terhadap tanaman, tetapi bila terjadi peningkatan populasi dalam jumlah besar, nematoda mampu menimbulkan kerusakan yang serius (Dropkin, 1992). Sebagai contoh, nematoda Meloidogyne pada populasi 7500—10000 /kg tanah menyebabkan kerusakan akar yang tinggi pada jahe emprit (Erlinawati, 2002).
Telah dilaporkan bahwa nematoda yang penting pada tanaman jahe adalah Meloidogyne spp., Radopholus sp., dan Pratylenchus spp.. Dari ketiga genus tersebut, Meloidogyne spp., dan Pratylenchus spp., yang sering menjadi masalah pada pertanaman jahe. Ada 4 spesies dari genus Meloidogyne spp. yang menyerang jahe, yaitu M. arenaria, M. hapla, M. incognita, dan M. javanica, sedang Pratylenchus spp. terdiri dari P. brachyurus, P. coffeae, P. indicus dan P. pratensis (Luc et al., 1995).
Beberapa nematoda parasit tumbuhan hidup secara bebas dalam tanah atau di bagian luar akar dan batang. Telur, larva stadium infektif dan nematoda jantan pada umumnya terdapat dalam tanah untuk keseluruhan atau sebagian hidupnya (Agrios, 1996)
Beberapa faktor yang berpengaruh terhadap kehidupan dan distribusi nematoda adalah kelembaban tanah, filum air tanah, dan struktur tanah (Shurtleff & Averre III, 2000). Pada tanah yang memiliki kelembaban tinggi, gerak nematoda akan lebih mudah dari pada kondisi tanah yang berkelembaban rendah. Pada tanah yang berkelembaban rendah, dan berstruktur keras, filum air tanah yang dibutuhkan nematoda untuk bergerak menjadi sangat berkurang. Nematoda pada umumnya mampu bergerak secara aktif hanya beberapa meter dalam setiap tahunnya.
Selain faktor fisik, faktor tanaman juga berpengaruh terhadap nematoda. Populasi nematoda bersifat akumulatif, nematoda akan selalu ada pada suatu pertanaman. Sifat populasi yang akumulatif pada nematoda terjadi karena gerak nematoda yang sangat terbatas. Keberadaan nematoda pada suatu habitat erat kaitannya dengan pertanaman yang ada, dan kondisi lahan sebelumnya.

    1. Hipotesis

Hipotesis yang diajukan pada penelitian ini adalah keragaman nematoda berbeda antar lokasi pertanaman jahe (Zingiber officinale Rosc.).




II. TINJAUAN PUSTAKA


    1. Jahe dan Nilai Pentingnya

Jahe adalah rhizoma di dalam tanah dari tanaman Zingiber officinale Rosc., yaitu tanaman herba berumur panjang yang termasuk dalam famili Zingibericeae.
Jahe sudah lama dikenal oleh masyarakat Indonesia karena manfaatnya, baik sebagai bumbu/penyedap makanan maupun sebagai obat. Di Indonesia dikenal 3 jenis jahe yang biasa dibudidayakan, yaitu jahe emprit, jahe merah, dan jahe gajah (Paimin dan Murhananto, 1999). Minyak jahe (atsiri) digunakan dalam industri parfum dan untuk penyedap makanan (Semangun, 2000)

Tanaman jahe berbentuk herba tahunan berbatang semu yang lunak, tingginya 15-100 cm, rimpangnya tebal dan kuat, relatif selalu bercabang, diameternya 1,5-2,5 cm terletak di bawah batang semu, dan bergerombol. Bunga jahe biasanya secara bergerombol muncul langsung dari rimpangnya dengan panjang 10-20 cm dan warnanya kekuningan. Bunga ini merupakan bunga steril sehingga jarang menghasilkan biji (Ashari, 1995). Daun tanaman ini kerap kali terdiri atas 2 baris dan berselang seling di antara batas pelepah dan helaian daun (Van Steenis, 2000).

Jahe tumbuh di dataran rendah sampai 1500 dpl. Tanaman ini cocok pada tanah yang tidak banyak mengandung air, landai atau agak terjal, bukan pada tanah becek (Hariyanto, 1983)
Menurut Kartasapoetra (1996), kandungan zat-zat utama pada jahe terdiri atas pati sebanyak 20%--60% dan minyak atsiri sebanyak 0,5%--5,6%. Berkaitan dengan zat-zat utamanya, jahe umumnya diolah dengan berbagai cara dan dibedakan menjadi 3 jenis, yaitu:
  1. jahe hijau (green ginger), yaitu jahe segar tanpa pengolahan.
  2. jahe hitam (black ginger), yaitu jahe segar yang direndam dalam air mendidih, kemudian dikeringkan
  3. jahe putih (white ginger), yaitu jahe segar yang dikupas lapisan kulitnya, kemudian direndam dalam air kapur, setelah sebelumnya dicuci bersih


  1. Nematoda


2.2.1 Morfologi dan Siklus Hidup


Nematoda adalah hewan yang lentur dan berbentuk seperti pipa, bergerak aktif, memiliki organ lengkap, selain sistem peredaran darah dan sistem pernafasan. Nematoda parasitik tumbuhan pada umumnya mempunyai panjang tubuh 1-2 mm dan lebar tubuh kurang lebih 0,05 mm (Dropkin, 1992). Daur hidup nematoda dimulai dari telur kemudian berkembang menjadi larva yang mengalami pergantian kulit sebanyak empat kali, selanjutnya menjadi jantan atau betina dewasa. Betina dewasa menghasilkan telur fertil baik setelah kawin dengan jantan maupun secara partenogenesis.


III . BAHAN DAN METODE


    1. Waktu dan Tempat Penelitian


Penelitian ini berupa survei yang dilaksanakan dari bulan Desember 2002 sampai Februari 2003. Pengambilan sampel akar dan tanah dilakukan pada beberapa lokasi pertanaman jahe, yaitu pertanaman jahe di Desa Wates dan Desa Mataram Kecamatan Gadingrejo Kabupaten Tanggamus, Desa Umbul Solo dan Desa Babakan Kecamatan Kedondong, serta Desa Toto Harjo dan Desa Sidorejo Kecamatan Padang Cermin Kabupaten Lampung Selatan. Desa-desa tersebut merupakan sentra-sentra pertanaman jahe di Lampung.
Ekstraksi, identifikasi nematoda dan analisis data dilakukan di Laboratorium Hama Arthropoda jurusan Proteksi Tanaman Fakultas Pertanian Universitas Lampung.

    1. Bahan dan Alat


Bahan-bahan yang digunakan antara lain sampel akar dan tanah, larutan gula, glasswoll, gliserol, aquades, kutek, asam asetat, formalin, dan alkohol. Peralatan yang digunakan antara lain pisau, kantung plastik, alat tulis, kertas label, saringan diameter 1 mm, 53m, 38m, botol semprot, coverglass, sentrifuge, gelas ukur, cawan petri, mikroskop majemuk, mikroskop stereo binokuler, dan gelas piala.

  1. Pelaksanaan Penelitian


    1. Pengambilan Sampel Akar dan Tanah


Pengambilan sampel akar dan tanah dilakukan pada lahan pertanaman jahe yang terletak di Desa Mataram, dan Desa Wates Kecamatan Gadingrejo Kabupaten Tanggamus, Desa Umbul Solo, dan Desa Babakan Kecamatan Kedondong, serta Desa Toto Harjo, dan Desa Sidorejo Kecamatan Padang Cermin Kabupaten Lampung Selatan. Pada masing-masing lokasi pertanaman jahe dipilih situs pengambilan sampel akar dan tanah. Pengambilan sampel akar dan tanah dilaksanakan dari bulan Desember 2002 sampai Februari 2003.

Luasan situs pengambilan sampel akar dan tanah pada tiap lokasi yaitu 50 m2 dengan panjang 10 m, dan lebar 5 m. Pada luasan lahan ini ditetapkan 5 situs pengambilan sampel yang terletak pada kedua diagonal lahan. Lima situs ini dianggap sebagai ulangan. Pada tiap situs diambil sampel akar dan tanah pada 10 titik secara zigzag, kemudian sampel tanah dikomposit menjadi 1 kg, dan sampel akar menjadi 5 gram. Akar dan tanah tersebut masing-masing dimasukkan ke dalam kantung plastik dan diberi label untuk diproses di laboratorium.

Deskripsi kondisi pertanaman jahe di masing-masing lokasi pengambilan sampel di sajikan pada Tabel 1.



Tabel 1. Deskripsi kondisi pertanaman jahe pada lokasi pengambilan sampel
Kriteria
Gadingrejo
Kedondong
Padang Cermin
  1. Topografi lahan jahe 



  1. Umur pertanaman 


  2. Jenis jahe

  1. Pola tanam

  1. Tanaman sebelum di tanami jahe


6. Kondisi gulma
 110 mdpl (BPS, 2002)





Wates : 1 th.
Mataram : 5 bl.



Wates : Jahe emprit
Mataram : Jahe emprit


Wates : monokultur, kurang perawatan.
Mataram : monokultur






Wates : Awalnya di tanami jagung.
Mataram : Awalnya ditanami pisang, ketela, dan jarak.


Banyak ditumbuhi gulma


 150 mdpl (BPS, 2002)





Umbul Solo: 3 bl
Babakan : 3 bl



Umbul solo : jahe kapur.
Babakan : jahe gajah.
Umbul Solo : monokultur
Babakan : monokultur







Babakan : Awalnya merupakan pertanaman kopi. Umbul Solo : Awalnya di tanami tembakau.


Tidak banyak ditumbuhi gulma
 200 mdpl ( Yamin, komunikasi pribadi)
Toto Harjo : 3 bl
Sidorejo : 3 bl


Toto Harjo :Jahe gajah.
Sidorejo : Jahe Gajah

TotoHarjo : tumpangsari dengan kacang tanah
Sidorejo : tumpangsari dengan kacang tanah
Toto Harjo, dan Sidorejo : Awalnya merupakan perkebunan karet.


Banyak terdapat sumber air
Tidak banyak ditumuhi gulma


      1. Metode Ekstraksi Nematoda


3.3.2.1 Ekstraksi Akar


Metode ekstraksi akar yang digunakan adalah teknik modifikasi corong Baermann (Hutagalung, 1988). Akar tanaman jahe yang sudah didapatkan dari masing-masing tempat pengambilan sampel dicuci bersih dan dipotong kecil-kecil kurang lebih 0,5 cm. Potongan akar tersebut kemudian diletakkan pada saringan berdiameter pori 1 mm yang telah dilapisi dengan kertas tisu. Kemudian saringan berisi potongan akar tersebut direndam dalam air pada mangkuk plastik selama 24 jam. Selanjutnya larva yang tertampung dalam mangkuk dihitung di bawah mikroskop stereo binokuler dengan perbesaran 40 kali. Penghitungan diulang 3 kali.

    1. Ekstraksi Tanah


Metode ekstraksi yang digunakan adalah sieving and gravity method (Cobb, dalam Shurtleff and Averre III, 2000), serta cara sentrifugasi dengan larutan gula (Dropkin, 1992). Larutan gula disiapkan dengan cara melarutkan 500 g gula dalam air sehingga volumenya menjadi 1000 ml larutan.

Dari setiap sampel diambil 100 cc tanah dan dimasukkan ke dalam ember berisi air, diremas-remas kemudian didiamkan agar mengendap selama 5 menit. Kemudian suspensi tanah disaring dengan menggunakan saringan 1 mm dan ditampung dalam ember lain. Bagian yang ada dalam saringan dibuang, kemudian suspensi yang ada pada ember didiamkan supaya mengendap lalu suspensi tanah didekantasi kembali melalui saringan dengan diameter 53 m.

Bagian yang ada pada saringan dikumpulkan dalam tabung sentrifus dan disentrifus selama 5 menit. Selanjutnya supernatan dibuang dan endapannya ditambah dengan larutan gula sebanyak 2 kali tinggi endapan yang terdapat pada tabung sentrifus, lalu diaduk rata dan sentrifus lagi selama 5 menit. Supernatan yang berada pada permukaan tabung sentrifus disaring lagi dengan saringan 38 m. Bahan yang tertinggal dicuci dengan air botol semprot dan hasilnya dikumpulkan dalam botol suspensi nematoda.

      1. Fiksasi
Untuk mengawetkan nematoda hasil ekstraksi, dilakukan fiksasi dengan menggunakan FAA (Formalin Acetic Acid). Sebelum difiksasi, nematoda dimatikan dengan memanaskan botol berisi suspensi nematoda dalam air sampai suhunya 50o c. Setelah itu ke dalam botol-botol tersebut ditambahkan FAA sebanyak 2 kali tinggi larutan.

      1. Identifikasi Nematoda dan Perhitungan


Identifikasi dilakukan dengan membuat preparat semi permanen. Mula-mula nematoda dalam suspensi diamati di bawah mikroskop stereo, kemudian nematoda dikait dan diletakkan di atas kaca preparat yang telah diberi gliserol dan glaswoll. Preparat ditutup dengan gelas penutup kemudian direkatkan dengan cairan kutek, lalu diamati di bawah mikoskop majemuk dengan perbesaran 100- 400 x.

Identifikasi nematoda dilakukan dengan membandingkan spesimen nematoda dengan gambar pada buku Diagnosing Plant Diseases Caused By Nematodes (Shurtleff and Averre, 2000) dan buku Pictorial Key To Genera Of Plant-Parasitic Nematodes (Mai & Lyon, 1975). Setelah itu populasi setiap nematoda dihitung dengan cara suspensi nematoda diletakkan dalam cawan petri bergaris bujur sangkar berukuran 1x 1 cm. Nematoda dihitung di bawah mikroskop stereo binokuler perbesaran 40 x (Dropkin, 1992). Suspensi nematoda yang akan dihitung sebanyak 100 ml, baik suspensi nematoda dari tanah maupun dari akar.

    1. Analisis Data

Data yang dikumpulkan adalah jumlah individu nematoda setiap genusnya. Untuk mengetahui keragaman dan dominansi nematoda digunakan rumus-rumus sebagai berikut :
1. Indeks Keragaman Shannon-Wienner ( Nughton and Wolf, 1998 )
H =  pi x ln pi

Keterangan:
H = Indeks keragaman Shannon-Wienner
Pi = Proporsi takson ke-I dalam total terok

  1. Indeks kemerataan ( Nughton and Wolf, 1998 )
J = H/ lnS
Keterangan:
J : Indeks Kemerataan
H : Indeks Shannon Wienner
S : Jumlah Takson

  1. Indeks kemiripan Sorernsen (Barker, et al., 1985)

IS = 2.C/ A + B

Keterangan:
IS : Indeks Sorensen
C : Jumlah jenis organisme yang terdapat di tempat a, maupun b
a : Jumlah jenis organisme di tempat a
B : Jumlah jenis organisme di tempat b

  1. Dominasi dan Nilai Penting Antar Kedalaman Tanah (Norton, 1978)
- Kepadatan Relatif : Jumlah individu genus a/jumlah total individu x100%

- Frekuensi Relatif : Frekuensi genus a/jumlah total Individu x 100%

- Dominansi Relatif : Unit terok genus a/unit terok seliruh takson x 100%

- Nilai Penting : Kepadatan Relatif+Frekuernsi Relatif+Dominansi
Relatif

- Perbandingan : Nilai penting genus x/jumlah nilai penting seluruh
genus x 100%


Data populasi nematoda dari tiap wilayah pengambilan sampel tanah dan akar diolah dengan sidik ragam. Nilai tengah populasi nematoda di uji dengan menggunakan uji Beda Nyata Terkecil (BNT) pada taraf nyata 5%.


IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

    1. Keragaman dan Kemerataan Nematoda

Keragaman nematoda akar dan tanah pada pertanaman jahe yang diukur dengan indeks Shannon Wienner berkisar 1,27-1,84 dan kemerataan nematoda diukur dengan indeks kemerataan berkisar 0,61-0,89. Keragaman dan Kemerataan nematoda dalam akar dan tanah di kecamatan Padang Cermin lebih tinggi daripada di kecamatan Kedondong, dan kecamatan Gadingrejo (Tabel 2.)
Tabel 2. Keragaman dan kemerataan nematoda akar dan tanah pada pertanaman jahe pada tiga kecamatan di Kabupaten Tanggamus

Lokasi
Indeks Keragaman Shannon Wienner
Indeks Kemerataan
  1. KecamatanGadingrejo*
  2. KecamatanKedondong**
  3. KecamatanPadang Cermin**
1,27
1,49
1,84
0,61
0,77
0,89

Keterangan : - * Umur tanaman jahe 5 bulan.

- ** Umur tanaman jahe 3 bulan.


Menurut Zoer’aini (1992), semakin tinggi keragaman hayati, maka semakin tinggi pula jumlah jenis organisme yang ditemui pada suatu ekosistem. Ekosistem yang keragaman hayatinya tinggi relatif stabil.

Ekosistem yang keragaman nematodanya tinggi, seperti pertanaman jahe di Padang Cermin (Tabel 2.) berarti memiliki jumlah jenis nematoda yang tinggi. Tingginya jumlah jenis nematoda di Padang Cermin mungkin disebabkan oleh kelembaban tanah yang tinggi. Semakin tinggi suatu tempat kelembaban tanahnya juga semakin tinggi (Ellenberg, 1986 dalam Espig, 1988). Hal ini mungkin berlaku di Padang Cermin yang ketinggian tempatnya lebih tinggi (200 mdpl) daripada Kedondong dan Gadingrejo. Pada tanah dengan struktur tanah yang remah dan kelembaban tanah yang tinggi pergerakan nematoda akan lebih mudah (Shurtleff & Averre, 2000).

Dalam ekologi, semua spesies dalam lingkungan yang hidup bersama, berinterakasi satu sama lain (Oka, 1993). Interaksi antar nematoda diduga tinggi pada tempat yang berkeragaman tinggi, ditempat ini kompetisi antar individu nematoda juga tinggi. Apabila kompetisi tinggi peluang untuk terjadinya peledakan populasi suatu jenis organisme rendah. Dengan demikian kemungkinan terjadinya masalah nematoda pada pertanaman jahe di Kecamatan Padang Cermin lebih rendah daripada di Kecamatan Kedondong, dan Gadingrejo.

Kemerataan nematoda di Padang Cermin juga lebih tinggi daripada di Kedondong dan di Gadingrejo. Ini berarti jumlah tiap jenis nematoda di Kecamatan Padang Cermin lebih merata. Komunitas nematoda semacam ini terjadi pada ekosistem yang relatif stabil. Diketahui, apabila jumlah jenis suatu spesies meningkat, dukungan dari spesies yang lebih melimpah akan menurun, dalam hal ini spesies menjadi kurang penting bila keragaman meningkat (McNaughton & Wolf, 1998) yang berarti spesies akan lebih merata.
Pertanaman jahe di Kecamatan Kedondong dan Gadingrejo dimana ketinggian tempatnya lebih rendah daripada Padang Cermin mempunyai keragaman nematoda yang lebih rendah. Di Kecamatan Gadingrejo dan Kecamatan Kedondong jahe ditanam terus secara monokultur sepanjang tahun. Pola tanam semacam ini mengakibatkan populasi dari jenis nematoda tertentu khususnya yang menyerang tanaman jahe akan semakin melimpah.

    1. Dominansi Nematoda

Dari tiga kecamatan didapatkan 15 genus nematoda, nematoda parasitik terdapat 13 jenis, dan 2 jenis nematoda nir parasitik. Nematoda akar dan tanah pada pertanaman jahe yang dominan (Tabel 3.) dari semua wilayah pengambilan sampel akar dan tanah adalah Meloidogyne dan Pratylenchus.

Dari genus nematoda yang diperoleh ditemui 2 genus nematoda nirparasit yaitu Rhabditis dan Dorylaimus. Dominasi nematoda kemungkinan besar juga berpengaruh terhadap tinggi rendahnya keragaman nematoda. Menurut McNaughton & Wolf (1998), dominansi suatu spesies terdapat pada komunitas yang keragaman spesiesnya rendah.

Di Kecamatan Kedodong dan Gadingrejo nematoda yang dominan adalah Meloidogyne dan Pratylenchus. Kedua jenis nematoda ini adalah nematoda parasit yang umum terdapat pada pertanaman jahe (Luc et al, 1995). Dalam ekologi, spesies mahluk hidup yang paling umum dalam suatu komunitas tertentu disebut sebagai spesies yang dominan, dalam arti sebagian besar proporsi sumber daya yang tersedia dimanfaatkan oleh spesies tersebut dengan merugikan organisme lain (McNaughton & Wolf, 1998). Nilai dominansi kedua jenis nematoda ini terlihat lebih tinggi dibanding dengan jenis yang lain (Tabel 3.). Dalam arti kedua jenis nematoda ini yang paling melimpah/banyak terdapat pada pertanaman jahe di Kecamatan Kedondong dan Gadingrejo.

Tabel 3. Dominansi Nematoda yang dominan pada pertanaman jahe di tiga kecamatan di Lampung

No

Genus

Gadingrejo
Kedondong
Padang Cermin
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
Pratylenchus (p)
Meloidogyne (p)
Aphelenchoides (p)
Rhabditis (n)
Hemicycliophora (p)
Radopholus (p)
Pratylenchoides (p)
Cricenomoides (p)
Tylenchorhynchus (p)
Haplolaimus (p)
Tylenchulus (p)
Heterodera (p)
Meliododera (p)
Dorylaimus (n)
Dolichodorus (p)
14,24
19,07
11,20
12,12
10,77
11,06
10,77
00,00
00,00
00,00
00,00
00,00
00,00
10,07
00,00
20,34
00,00
00,00
14,49
12,81
00,00
00,00
12,42
12,42
12,42
15,10
00,00
00,00
00,00
00,00
14,54
11,36
00,00
00,00
14,09
12,27
00,00
00,00
13,18
00,00
00,00
11,36
11,82
00,00
11,36


Di Kecamatan Padang Cermin walaupun nematoda Pratylenchus adalah dominan, tetapi nilainya tidak jauh lebih tinggi daripada nematoda jenis lain, artinya banyak spesies lain yang hidup bersama dalam komunitas ini, dan kemungkinan kompetisi terhadap ruang dan makan juga tinggi. Kemudian, yang terjadi adalah daya dukung spesies yang melimpah menjadi menurun sehingga keragaman meningkat, maksudnya peran suatu spesies menjadi kurang penting bila keragaman meningkat (McNaughton & Wolf, 1998). Hal lain yang menyebabkan keragaman jenis yang tinggi di Padang Cermin kemungkinan karena tanaman jahe ditanam tumpang sari dengan tanaman kacang tanah.

    1. Kemiripan Jenis Nematoda


Hasil perhitungan Indeks kemiripan Sorensen (Tabel 4.), menunjukkan bahwa kemiripan jenis nematoda pada pertanaman jahe di Kecamatan Gadingrejo, Kedondong, dan Padang Cermin memiliki nilai kemiripan nematoda berkisar 0,4-0,5.

Tabel 4. Indeks Sorensen komunitas nematoda pada pertanaman jahe di tiga kecamatan di Lampung


Lokasi
Kec. Gadingrejo
Kec. Kedondong
Kec. Padang Cermin
Kec. Gadingrejo
Kec. Kedondong
Kec. Padang cermin
1
-
-
0,4
1
-
0,5
0,4
1


Nilai indeks kemiripan nematoda di Gadingrejo dan Kedondong 0,4 artinya ada 40% jenis nematoda yang sama. Jenis-jenis nematoda yang terdapat di Gadingrejo jarang di temui di Kedondong atau kemiripan nematodanya rendah, begitu juga dengan nilai indeks kemiripan nematoda di Gadingrejo dan Kedondong yaitu 0,5, serta Kedondong dan Padang Cermin yaitu 0,4.

Menurut Norton (1978), apabila spesies yang ada pada dua habitat memiliki indeks kemiripan 1,0 dikatakan mempunyai kemiripan yang tinggi atau spesies yang ada di dua tempat tersebut sama. Sedangkan bila nilai indeks kemiripan 0,5 dapat dikatakan kemiripannya rendah dan nilai indeks kemiripan 0 maka dikatakan tidak memiliki kemiripan. Kemiripan nematoda yang rendah (Gadingrejo versus Padang Cermin dan Kedondong versus Padang Cermin) berarti spesies yang ada didua tempat tersebut tidak sama atau hanya sedikit spesies yang sama dijumpai di dua tempat tersebut. Hal ini diduga karena lingkungan yang berbeda dimana ekosistem di Gadingrejo dan Kedondong yang topografi lahannya lebih rendah akan berbeda dengan ekosistem Padang Cermin yang topografi lahannya lebih tinggi.

  1. Populasi Nematoda Akar dan Tanah


Hasil uji Beda Nyata Terkecil (BNT) populasi nematoda di Kecamatan Padang Cermin tidak berbeda dengan Kecamatan Kedondong, tetapi berbeda nyata dengan populasi nematoda di Gadingrejo (Tabel 5.).

Tabel 4. Populasi nematoda pada pertanaman jahe di tiga kecamatan di Lampung

Lokasi pertanaman
Ekor/100 ml suspensi
Kec. Gadingrejo
Kec. Kedondong
Kec. Padang Cermin
138 b
58 a
44 a
F Hitung = 64,7n

Keterangan : - Angka merupakan rerata jumlah nematoda dan huruf yang sama
menyatakan tidak berbeda nyata menurut uji BNT 5 %.
  • n = nyata menurut uji BNT pada taraf 5 %.
Di Kecamatan Gadingrejo populasi nematoda nyata lebih tinggi dibandingkan Kedondong dan Padang Cermin. Di tempat ini jenis nematoda yang ada di dominasi oleh Meloidogyne, berarti nematoda jenis ini memiliki kepadatan populasi yang paling tinggi sebgaimana diketahui bahwa spesies yang dominan adalah yang jumlahnya paling melimpah dan mampu menguasai sumberdaya. Di Kecamatan Gadingrejo dan Padang Cermin populasi nematodanya tidak berbeda nyata, hal ini mungkin dikarenakan kuatnya interaksi antar spesies nematoda, dalam hal ini kompetisi yang terjadi tinggi baik kompetisi antar sesama jenis dalam ruang dan makanan, maupun kompetisi dengan musuh alami nematoda (Margalef, 1968, Mac Arthur, 1972 dalam McNaughton & Wolf, 1998).

V. SIMPULAN DAN SARAN


    1. Simpulan


Dari penelitian yang dilakukan dapat disimpulkan bahwa :
  1. Genus nematoda yang dominan adalah Pratylenchus (pada pertanaman jahe di Kedondong dan Padang Cermin) dan Meloidogyne (pada pertanaman jahe di Gadingrejo).
  2. Keragaman dan kemerataan nematoda cenderung berbeda antar lokasi pertanaman jahe, keragaman dan kemerataan relatif tinggi pada pertanaman jahe di Kecamatan Padang Cermin (indeks keragaman Shannon Wienner =1,84 dan 0,89) dan terendah pada pertanaman jahe di Kecamatan Gadingrejo (indeks keragaman Shannon Wienner =1,27 dan 0,61), sedangkan kemiripan komunitas nematoda yang diukur dengan indeks kemiripan Sorensen berkisar 0,4-0,5.
  3. Populasi nematoda pada pertanaman jahe di Kecamatan Gadingrejo lebih tinggi (138 ekor/100 cc tanah + 5 gr akar) daripada di Kecamatan Kedondong (58 ekor/100 cc tanah + 5 gr akar) dan Padang Cermin (44 ekor/100 cc tanah + 5 gr akar).
    1. Saran
Disarankan adanya penelitian-penelitian lain tentang keragaman nematoda dengan menggunakan parameter keragaman yang lebih luas dan mengukur variabel lain yang mempengaruhinya.   
  




DAFTAR PUSTAKA



Agrios, G. N. 1996. Ilmu Penyakit Tumbuhan. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. 616 hlm.

Ashari. 1995. Hortikultura. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta
Anderson, D.T. (Editor). 1999. Invertebrate Zoology.Oxford University Press Melbourne. Oxford Auckland. New Yok. 99 pp.

BPS. 1999. Bulletin Statistik Perdagangan Luar Negeri (Foreign Trade Statistical Bulletin Exsports). Jilid I. Katalog BPS 8102. BPS Jakarta Indonesia. 61-62 hlm.
BPS. 2000. Bulletin Statistik Perdagangan Luar Negeri (Foreign Trade Statistical Bulletin Exsports). Jilid I. Katalog BPS 8102. BPS Jakarta Indonesia. 61-62 hlm.

BPS. 1999. Bulletin Statistik Perdagangan Luar Negeri (Foreign Trade Statistical Bulletin Exsports). Jilid II. Katalog BPS 8103. BPS Jakarta Indonesia. 1833 hlm.

BPS. 2000. Bulletin Statistik Perdagangan Luar Negeri (Foreign Trade Statistical Bulletin Exsports ). Jilid II. Katalog BPS 8103. BPS Jakarta Indonesia. 1833 hlm.

Barker, K. R, C. C. Carter, J.N. Sassen, 1985. An Advanced Treasure Of Meloidogyne. Volume II. Metodology International Meloidogyne Project. North Carolina State University Graphics. 13 pp

Dropkin, V.H. 1992. Pengantar Nematologi Tumbuhan. Dialihbahasakan oleh Supratoyo. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. 366 hlm.

Erlinawati, D. 2002. Pengaruh Populasi Nematoda Puru Akar (Meloidogyne sp.) Terhadap Pertumbuhan dan Kerusakan Tanaman Jahe (Zingiber officinale, Rosc.). Skripsi. Universitas Lampung. Bandar Lampung. 27 hlm.

Hariyanto, S.N. 1983. Petunjuk Bertanam dan Kegunaan Jahe. Karya Anda. Surabaya. 13 hlm.

Hutagalung, L. 1988. Teknik Ekstraksi dan Membuat Preparat Nematoda Parasit Tum buhan. Rajawali Press. Jakarta.97 hlm

Indah SY, D.R. 1999. Keragaman dan Dominansi Nematoda Parasit Tumbuhan Pada Lahan Pertanaman Pisang (Musa sp.). Skripsi. Universitas Lampung. Bandar Lampung. 22 hlm.

Luc, M., R.A. Sikora, dan J. Bridge. 1995.Nematoda Parasitik Tumbuhan di Pertanian Tropik dan Subtropik. Dialihbahasakan oleh Supratoyo. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. 772 hlm.

Mai, W.F., and H.H., Lyon (photographer). 1975. Pictorial Key To Genera Of Plant Parasitic Nematodes. Cornell University Press. London

Nughton, Mc., A.J. Wolf, L.L. 1998. Ekologi Umum. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. 608 hlm.

Norton, Don. C.1978. Departement Of Botany and Plant Pathology. Awiley Interscience Publication. John Wiley or Son. New York, Chicester, Brisbane, Toronto. 67 pp

Kartasapoetra, G. 1996. Budidaya Tanaman Berkhasiat Obat (Meningkatkan Apotik Hidup dan Pendapatan Para Keluarga Petani, dan PKK) PT. Rineka Cipta. Jakarta. 64 hlm.

Paimin, F.B., Murhananto. 1999. Budidaya,Pengelolaan, Perdagangan Jahe. Penebar Swadaya. Jakarta. 96 hlm.

Semangun, H. 2000. Penyakit-Penyakit Tanaman Hortikultura di Indonesia. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. 222 hlm.

Sutarya, R.G. Grubber (Penyunting Ilmiah), Sutarno, H.1995. Pedoman Bertanam Sayuran Dataran Rendah. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta bekerjasama dengan PROSEA Indonesia, dan Bakai Hortikultura Lembang. 57 hlm.

Shurtleff, M.C.,and Averre III, C. W. 2000. Diagnosing Plant Diseases Caused By Nematodes. APS Press. The American Phythopatology Society St. Paul, Minnesota. USA. 187 pp.

Soenarto, H. 2001. Budidaya Jahe dan Peluang Usaha. Aneka Ilmu. Semarang. 9 hlm.

Van Steenis, C.G.G.J. Bekerja sama dengan D. der Bloed, S. Bloemberger. 2000. Flora Untuk Sekolah di Indonesia. P.J. Eyma. PT. Pradnya Paramita. 154 hlm.

Yamin. 2003. Komunikasi Pribadi.

Zoer’aini, D. I. 1992. Prinsip-Prinsip Ekologi dan Organisasi Ekosistem, Komunitas, dan Lingkungan. Bumi Aksara. Jakarta. 184 hlm.



Gambar mungkin berisi: 2 orang, termasuk Imam Masyhuda, orang duduk

Imam Masyhuda, SP







LAPORAN PEMBUATAN KOLEKSI Penyakit Darah Pisang (Ralstonia solanacearum)

Oleh: Agus Setiono, SP POPT Ahli Pertama BKP Kelas 1 Palembang (Tahun2017) P E N D A H U L U A N A. Latar...